*Petani Dianjurkan Gunakan Pola Tanam Tandur Jajar
TEGALWARU, SK - Petani pegunungan memang sulit menerima sistem pola tanam padi dengan istilah tandur jajar karena dianggap merugikan. Padahal pola tanam itu bisa membuat bulir padi gemuk-gemuk dan berat hingga harganyapun lebih mahal.
Hal itu diungkapkan pemerhati masalah pertanian Akbar Sunda Makassar, beberapa waktu lalu. Menurut dia, pola tanam tandur jajar cocok diterapkan untuk area pertanian yang lokasinya diketinggian. Kendati diakuinya masih perlu disosialisasikan kepada petani. Namun menurut dia hal itu bisa dilakukan lewat berbagai penyuluhan melalui para petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
"Kalau bicara soal siapa yang mestinya mengarahkan petani, sebetulnya sudah ada Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3L) melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) agar dapat memberi masukan kepada petani. Contohnya yang masih menggunakan pola lama dalam bertani agar diberi arahan dan memberi masukan kepada petani tanaman apa saja yang lebih baik dan lebih menguntungkan petani ke depan," tegas Akbar.
Hal senada juga pernah diungkapkan Lulu Jamaludin SP, sebagai Kepala Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3L) Kecamatan Pangkalan, ketika itu, ia mengakui petani di Kecamatan Pangkalan masih menggunakan pola tanam tradisional. Selain sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, hal ini juga dipengaruhi oleh cara bertani yang menggunakan pupuk kimia. Hal tersebut tidak bisa dibiarkan terus berlanjut karena selain akan berdampak pada kerusakan, kesuburannyapun akan semakin berkurang.
"Melakukan pola tanam padi dengan istilah tandur jajar saja bagi petani pegunungan ini sudah merupakan perubahan yang luar biasa. Sebab sudah dipastikan petani yang dekat dengan pegunungan ini lebih berpikir merasa rugi jika menanam padi dengan cara jarak tanamnya diperlebar," ungkap Lulu.
Menurut logika pemikirannya banyak yang ditanam berarti banyak pula yang akan dipanen. Padahal secara alami pertumbuhan padipun tidak seperti demikian. Sebab tumbuhan inipun memerlukan cahaya matahari yang cukup. Namun demikian menurut kepala BP3K ini masih banyak petani sawah yang kesulitan menerapkan pola bercocok tanam jarak legowo. "Mereka (petani, red) menganggap terlalu rumit dalam mengukur dan merasa eman atau takut kalau hasilnya berkurang karena renggangnya jarak tanam. Padahal sama dengn bercocok tanam jagung jarak tanam yang renggang menjadikan tanaman jagung berbuah dan berisi besar. Sehingga berpengaruh dalam tonase, begitupun pada tanaman jati jika jarak tanam ini sangat kelihatan membawa hasil yang berbeda," ucapnya.
Coba amati sederet tanaman jati di hutan atau pekarangan rumah yang ditanam secara serempak, jelasnya. Tanaman jati yang berada dipinggir jalan raya pada jati perhutani akan selalu tumbuh lebih besar. Beda dengan tanaman jati yang berada ditengah tengah lahan. Hal ini disebabkan cahaya matahari yang masuk itu lebih dapat diproses fotosintesis dari pada pohon yang berdesakan ditengah-tengah lahan yang banyak pohon lainnnya.
Hal sama juga sempat diutaSKn Ir Handoko, Kepala UPTD Pertanian Kecamatan Telagasari, waktu itu. Dia malah meminta agar petani menggunakan metode tanam Jajar Legowo (Jarwo), guna mendukung percepatan surplus beras nasional. Untuk mendukung itu, ia menegaskan kelompok tani berhak bertanya, konsultasi maupun meminta arahan dari pemerintah menyangkut program-program yang digulirkan. Pasalnya, di tahun 2014 ini, banyak program yang berlanjut dikucurkan, namun untuk memahami program tersebut perlu pemahaman serius agar aplikasinya bisa dijalankan dengan baik.
Handoko mencontohkan, program Sekolah Lapangan Pertanian Terpadu (SLPTT) yang mensyaratkan metode tanam Jajar Legowo (Jarwo) dan System Rice Intencificatioan (SRI) soal pemupukan dan teknik tanamnya masih kurang optimal. Karenanya, ia tak sungkan meminta para petani untuk bertanya, karena istilah komitmen pertanian melibatkan semua pihak untuk berkontribusi bagi pertanian. (ark)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar