Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, menilai Indonesia kini mengalami krisis ekologi. Bahkan kekayaan alam Indonesia saat ini hanya tersisa 30 persen dan 70 persen rusak oleh para perusahaan tambang yang melakukan ekplorasi pertambangan di hutan dan laut Indonesia.
"Kekayaan alam kita tersisa 30 persen yang baik, jadi ada Papua. Tapi Papua juga sudah dikepung dari Teluk Bintuni ditambah Freeport, ditambah lagi Merauke yang mau dijadikan perkebunan pangan," ungkap Ginting, belum lama ini.
Selain itu lanjut Ginting, ditambah perbatasan wilayah Indonesia dengan Papua Nugini di kawasan tanah Papua juga akan dijadikan perkebunan sawit. Dan itu adalah kawasan-kawasan yang terisolir yang kini mulai dijamah untuk dilakukan ekplorasi alam di Bumi Cendrawasih yang memiliki kekayaan alam melimpah."Kawasan terisolir saja sudah tereksploitasi sedemikian banyak ya belum lagi di Pulau Halmahera ya, disitu keanekaragaman hayatinya juga tinggi karena banyak hutan ya tapi disana ada 3 perusahaan tambang yang boleh menambang di kawasan hutan lindung," tutur Pius.
Karena itu menurut Pius, Walhi berharap agar Pemerintah Indonesia lebih peduli lagi terhadap keberadaan ekosistem alam, baik di hutan maupun di laut yang dapat menghidupi masyarakat yang ada di sekitarnya. Yaitu dengan merevitalisasi bahkan mencabut kontrak karya yang telah merusak alam Indonesia. "Jadi di Indonesia itu banyak sekali pertambangan salah satunya emas. Di sini juga terkait pencemaran lingkungan dan ditambah kerugian dari sumber daya mineral. Jadi kita sudah merugi karena pencemaran lingkungan ditambah kita rugi dari sumber daya mineral. Jadi pemerintah harus tegas disini jangan biarkan mereka merusak alam kita," tandasnya.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM Prof. Dr. Mochammad Nai�em, mengatakan, tata kelola hutan di Indonesia dinilai makin lemah, sehingga membuat angka laju kerusakan hutan relatif tinggi. Laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta hektare per tahun. �Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah lemahnya pemantapan hutan yang ditandai dengan buruknya pengelolaan sumber daya hutan,� ungkapnya.
Nai�em melanjutkan, pemerintah belum tegas menentukan luasan areal hutan mana yang seharusnya dilindungi dan mana yang dialihfungsikan. �Sejak digulirkannya otonomi daerah, banyak kasus yang terjadi di lapangan adalah suatu otonomi yang tidak dibarengi profesionalisme pengelola hutan skala lokal.�
Akibat pertambangan yang membabi buta, air yang melimpah kini mulai sulit didapat. Padahal hak atas air adalah hak asasi manusia. Dan oleh karena itu air adalah barang publik yang tidak boleh dimonopoli dan diprivatisasi. �Salah urus dan Privatisasi pengelolaan sumber daya air telah menyebabkan krisis Air bersih dan kekeringan di Indonesia. Sebuah Negara yang sebenarnya kaya akan sumber air bersih dari hulu hingga hilir, sungai sebagai tempat air mengaliri bumi dihancurkan. Hutan ditebangi seakan hanya komoditas. Pabrik-pabrik berdiri sepanjang sungai dan pantai agar mudah membuang limbah mematikan. Dan kota-kota dibangun tanpa peduli bahwa air punya siklus untuk menyerap masuk kedalam bumi. Kini, hanya tersisa sedikit sumber air bersih yang alami di pegunungan, yang keluar secara alami dalam bentuk mata air," ujarnya.
Setelah proses penghancuran berlangsung, akhirnya Air bersih menjadi barang langka yang menguntungkan untuk diperjual belikan. Bagi masyarakat, tidak ada pilihan selain membeli air. Tapi apa daya, Air yang di produksi oleh pabrik pengolahan Air Minum tidak cukup bersih untuk diminum walau namanya adalah Perusahaan Air Minum (PAM). (rk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar