Sabtu, 01 Februari 2014

Sanggabuana Bukan Hutan Produksi

-Masuk Kategori Kawasan Konservasi

TEGALWARU, RAKA - Kerusakan parah yang terjadi di puncak gunung Sanggabuana seolah dibiarkan tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH), yang bertanggung jawab atas keberadaan gunung berketinggian 1.291 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.

Disebutkan aktivis lingkungan Oepas Korak, Ahmad, berada di tiga wilayah kawasan hutan KPH Purwakarta, KPH Bogor, dan KPH Cianjur, ternyata tidak membuat puncak gunung Sanggabuana terjaga baik, bahkan terkesan ditelantarkan. Padahal, kelestarian gunung tersebut sangat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di kaki gunung seperti masyarakat Kampung Jayanti, Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru. Berdasarkan penelusuran RAKA bersama tim Oepas Korak beberapa waktu lalu, kondisi puncak gunung tertinggi di Kabupaten Karawang itu mengkhawatirkan. Selain disulap menjadi pemukiman plus warung, di beberapa titik terlihat perkebunan kopi. Bahkan, keberadaan 'maqam' di puncak tersebut mendukung kerusakan lebih parah, karena mayoritas peziarah nakal kerap membuang sampah, mengambil kulit kayu, dan membakar batang pohon untuk perapian. Selain itu ditemukan pula pakaian dalam perempuan dan laki-laki di aliran hulu sungai Cigentis. "Kami sudah beberapa kali mengadukan hal ini kepada KPH Purwakarta melalui Asisten Perhutani (Asper) Pangkalan, namun tidak ada tindakan nyata," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Bahkan, beberapa waktu lalu warga beserta aparat Desa Mekarbuana sempat bermusyawarah dan meminta agar status gunung tersebut dirubah menjadi hutan lindung. "Memang Sanggabuana hingga saat ini statusnya sebagai hutan produktif, hal itupula yang menyebabkan seolah hutan ini sengaja dibiarkan. Tapi melihat kenyataan sekarang, gunung ini menjadi harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, semisal kebutuhan air. Selain itu, kestabilan ekosistem yang ada, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga setempat," ungkapnya.
Dikatakan Kepala Desa Mekarbuana, Andi, perubahan status tersebut akan mempermudah pihaknya untuk melakukan konservasi, dan menindak pelaku perusakan hutan dengan mendirikan bangunan di wilayah Gunung Sanggabuana. "Sampai kapanpun, apabila status Sanggabuana belum berubah, maka selamanya petugas dan pemerhati lingkungan akan terkendala dalam melakukan pengarahan dan perbaikan," tandasnya.
Seperti telah diketahui, efek kerusakan hutan Gunung Sanggabuana mulai dirasakan masyarakat sekitar kawasan hutan. Bukan hanya longsor, saat ini beberapa sungai mulai kering. Akibatnya, masyarakat sudah tidak bisa melihat dan memanfaatkan air Sungai Cibalisuk. "Hulu Sungai Cibalisuk ada di Gunung Sanggabuana," tutur Ubuh, salah seorang aktivis Oepas Korak.
Melihat itu, Entis Witarya, Asper Pangkalan yang kini dipindahtugaskan ke wilayah Subang, mengatakan, meski dilihat dari ketinggian wilayah tersebut masih masuk dalam hutan produksi, namun wilayah itu mempunyai pengecualian. Wilayah Sanggabuana dinyatakan wilayah hutan Tidak Baik untuk Produksi (TDP) artinya tidak ada tebangan, dan harus menjadi kawasan konservasi selamanya. (ark)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar