Rabu, 11 Juni 2014

Holil: Harusnya Seluruh Komisioner KPU Ditangkap

*Kebijakan KPU Berdasarkan Kolegial Anggota

PURWAKARTA,SK - Ketua Komunitas Peduli Purwakarta (KPP), Munawar Kholil, mengaku heran atas penetapan status tersangka sekaligus penahanan mantan Ketua KPU Purwakarta, Dadan Komarul Ramdan oleh Kejaksaan Negeri Purwakarta. Pasalnya, sikap yang sama tidak dilakukan Kejari terhadap anggota komisioner KPU lainnya. Padahal secara ketentuan, kebijakan KPU kala itu didasarkan pada kebijakan kolegial anggota, tidak murni pimpinan.

"Kalau ketua dijadikan tersangka dan bahkan ditahan, yang lain juga harusnya diperlakukan sama," kata Holil, Selasa (10/6).
Kenapa demikian, lanjut dia, hal ini disebabkan penggunaan anggaran oleh KPU kala itu didasarkan pada rapat pleno KPU yang melibatkan seluruh anggota komisioner KPU Purwakarta.
Rapat pleno KPU tersebut ditempuh menyusul tidak adanya dokumen Rencana Alokasi Satuan Kerja (RASK) dari Setda Purwakarta. Ini diketahui dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI tahun 2008. "Makanya angka pengeluaran yang muncul, dominan bersifat asumtif karena disesuaikan kondisinya dengan eskalasi politik dan kebutuhan saat itu," urai Holil.
Sebaliknya, kata Holil, kalaupun dalam pelaksanaannya muncul persoalan, maka yang paling bertanggungjawab dalam pengelolaan anggaran yang totalnya mencapai Rp 12,4 milyar ini adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) internal KPU, yang saat ini telah divonis di pengadilan Tipikor Bandung. "Dalam skala yang lebih besar harus bertanggungjawab juga KPA dari Setda Purwakarta," terang Holil.
Ditanya siapa saja komisioner KPU Purwakarta tahun 2008, Holil mengabsen empat orang lain selain Dadan Komarul Ramdan. Keempat orang tersebut adalah Asep Maskar, Darius Hutagalung, Sadeli dan Nurlaela. "Bagaimana sikap Kejari terhadap empat komisioner lainnya," tanya Holil menutup perbincangan.
Sebelumnya, kuasa hukum tersangka korupsi KPU Purwakarta, Dadan Komarul Ramdan, M Bastari SH, menyebut KPU dalam pengelolaan anggaran Pilkada 2008 hanya sebagai juru bayar. "Pada prakteknya KPU akhirnya mirip juru bayar," kata M Bastari. Menurutnya, dalam kasus ini sebenarnya yang bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA) adalah Setda Purwakarta dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)-nya Kesbang Linmas. Sehingga pengelola penuh anggaran Pilkada 2008 yang totalnya Rp 12,4 milyar ini adalah pihak Setda Purwakarta.
Bastari mengilustrasikan, mengapa KPU disebut juru bayar lantaran kebijakan KPU saat itu terbatas pada penggeseran anggaran. Tidak pada wilayah pengelolaan dan pengalokasian anggaran. Ini diperkuat dengan mekanisme pencairan anggaran yang dilakukan secara bertahap. "Ketiadaan DASK dan SKO dari Setda juga memperparah kondisi ini. Sehingga KPU akhirnya berinisiatif melegalisasi pengeluaran melalui rapat pleno KPU. Belum lagi karena dihadapkan pada situasi politik yang kacau pada saat itu. Yang pasti, upaya KPU perlu diapresiasi. Masa-masa sulit itu bisa terlewati," urainya.
Artinya, lanjut Bastari pihak yang paling bertanggungjawab dalam kasus pengelolaan anggaran yang menyisakan Rp 1,2 milyar ini sebenarnya bukan KPU, tapi pihak PA dan KPA pada saat itu. "KPU jadi korban," tutup Bastari.
Diketahui, Jumat (30/5) lalu, empat orang tersangka korupsi KPU Purwakarta tahun 2008 ditahan Kejari Purwakarta. Keempat orang tersebut adalah mantan Ketua KPU Purwakarta DKR (Dadan Komarul Ramdan), YM (Yusup Maulana), AS (Adang Sunendar) dan AF (Asep Fakar). Keempatnya disangkakan telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara hampir Rp 2 milyar.
Selain empat orang tersangka tersebut, sebelumnya Kejari juga telah menahan dua orang tersangka lain. Mereka adalah Adang Lukman dan Ahmad Zaenudin. Kedua orang ini bahkan telah mendapat vonis dari Pengadilan Tipikor Bandung masih-masing 2 tahun pada Maret 2013 lalu. Keduanya lalu mengajukan banding.
Kasus korupsi ini mencuat setelah KPU Purwakarta saat Pilkada 2008 mendapat dana hibah dari Pemkab Purwakarta sebesar Rp 12,4 milyar dari APBD Purwakarta TA 2007.  Dari jumlah tersebut diterima KPU Rp 11, 2 milyar. DKR disangkakan telah merugikan negara Rp 1,3 milyar, AF Rp 326 juta, YM Rp 155 juta dan AS  mengelola anggaran Rp 400 juta. Keempatnya disangkakan pasal 3 Ayat 1 UU Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun kurungan. (Nos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar