KARAWANG, Sekitar Karawang - Belum jelasnya pelaksanaan pembangunan pelabuhan Cilamaya hingga kini, ditanggapi anggota Komisi C DPRD Karawang Endang Kurniadin, bisa jadi rencana yang menyeruak sejak bupati dijabat almarhum Ahmad Dadang, hanya sekadar wacana tak berujung.
"Kita mendengar akan dibangunnya pelabuhan Cilamaya sudah lama. Bahkan di era pemerintahan almarhum Ahmad Dadang telah pula dilakukan kajian hingga beberapa kali rapat di pemkab membahas hal ini. Nyatanya, sampai sekarang belum ada action apapun di lapangan selain berkutat terus di meja rapat. Dan di tengah wacana itu (pelabuhan), kini pemerintah pusat menggelindingkan juga wacana untuk membangun bandara di Karawang. Jika melihat report pelabuhan saja, kayaknya kita jadi pesimis megaproyek bernilai triliunan rupiah tidak lebih sebatas mimpi. Dari agenda kerja yang dibuat JICA (Japan International Cooperation Agency) selaku tim survey banyak yang meleset. Apa mungkin bisa jadi kenyataan?" tanya Endang.
Mengenai kemunculan wacana pembangunan bandara di Karawang, sebelumnya dicuatkan pemerintah pusat dalam Masterplan Percepatan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011. Waktu itu disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa dari ratusan proyek bisnis untuk membangun infrastruktur, salah satu poinnya perlu dibangun bandara bertaraf internasional sebagai penyangga bandara Soekarno-Hatta yang diprediksi tidak bakal mampu lagi menampung pesawat dan ledakan penumpang, terutama tahun 2020 mendatang. Di mana pada tahun itu investasi luar negeri di Indonesia makin padat di pulau Jawa, khususnya bagian barat.
Terkait hal ini, Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Karawang, Samsuri, seringkali memberikan keterangan setiap perkembangan rencana kedua megaproyek pemerintah pusat tersebut di Karawang. Dia katakan, pemerintah daerah hanya sebatas dimintai pendapat karena sebagai calon tuan rumah atas keberadaan proyek-proyek besar itu. "Kita tidak mungkin bisa menolak. Sebaliknya, justru berharap agar realisasi pembangunan pelabuhan maupun bandara dibuktikan. Kita juga merasa lelah. Setiap kali diundang ke Jakarta maupun yang dari Jakarta datang ke Karawang hanya sebatas rapat, rapat, dan rapat," akunya.
Dikatakan berulang, dalam rencana awal bandara diproyeksikan dibangun di wilayah Kecamatan Ciampel sampai Pangkalan dengan membutuhkan lahan selus 4000 hektare. Kendati di areal itu merupakan lahan hutan produksi milik Perhutani. Alternatif lain, Samsuri ketahui, adalah di wilayah utara Karawang. Bila alternayif ini yang dipilih, ia bisa memastikan, landasan pacu mesti dibangun di lepas pantai atau di bibir pantai. Berarti mesti ada reklamasi (pengurugan laut). Soal ini, Bupati Ade Swara sempat mengabarkan bila pengusaha Tiongkok siap menggarap proyeknya. Kendati sulit dipungkiri bupati, bahwa Jepang tidak mungkin rela melepas keinginan serupa dalam membidik megaproyek yang arah kepentingannya mengamankan investasi di Indonesia, utamanya Karawang atau Jawa Barat.
Terlepas bandara dibangun di selatan atau utara wilayah Karawang, dikemukan Samsuri lagi, Pemerintah Pusat harus menyiapkan tata ruangnya. Sebab hingga kini tata ruang untuk pembangunan bandara di daerah ini belum tersedia kecuali buat pelabuhan Cilamaya. Ditambahkannya, keputusan akhir mengenai bandara, tanpa terkecuali pelabuhan, ada di tangan presiden. "Kami sebenarnya butuh kepastian. Jadi atau tidak sebenarnya kedua megaproyek tersebut. Pasalnya, ketika tata ruang nasional terjadi perubahan dengan mengakomodir ketersediaan bandara, kami pasti akan menyiapkan sejumlah ploting zonasi pengembangan kota dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Karawang. Yaitu guna menyesuaikan perkembangan kota sebagai efek domino dari keberadaan bandara maupun pelabuhan," tandasnya. (vins)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar