Amansanjaya, anggota Pejuang Siliwangi Indonesia (PSI) menilai, dengan sistem online banyak orang tua tidak memahami bagaimana mendaftarkan anaknya dalam sistem tersebut. "Jadi mereka bingung mau memulai dari mana. Pengisiannya seperti apa, kemudian tata cara penilaiannya bagaimana. Tentu saja resiko kesalahan dalam penilaian pun bakal semakin tinggi. Jaminannya pun tidak main-main, sang anak yang semestinya masuk secara perangkingan, karena salah masukan data, bisa fatal akibatnya,"kata dia memulai perbincangan.
Dia lantas membandingkan penerimaan online dengan metode biasa yang sudah puluhan tahun dijalankan. "Mereka memang rata-rata tidak mengerti sama sekali yang berkaitan dengan teknologi informasi. Biasanya mereka datang ke sekolah, ngisi formulir dan menyerahkannya ke sekolah. Namun sekarang justru semua dipusatkan di disdik," tukasnya lagi.
Sementara itu, A. Khudri, tokoh masyakat Kutawaluya pun mempertanyakan soal relevansi Perda DTA sebagai persyaratan dalam PPDB Online. "Sekarang kan sudah ada Perda DTA, nah sekarang kita pertanyakan bagaimana kelanjutan sistem tersebut. Katanya dalam PPDB mesti dilampirkan juga ijazah DTA agar bisa masuk ke SMP. Bagaimana kalau calon murid tidak punya, bisakah mereka masuk?" tanyanya lagi.
Kendati tidak berpengaruh, tetap saja, dalam metode perangkingan, ijazah tersebut menjadi penambahan nilai bagi para calon peserta didik. "Kalau memang tidak berpengaruh lantas kenapa harus sampai dibuatkan Perda DTA, ini kan bukti bahwa pemerintah kita tidak konsisten. Sudah mau orang tua dipersulit dengan metode online. Juga dipusingkan dengan aturan Ijazah DTA," kecamnya lagi.
Pemerintah sebaiknya merumuskan kembali kebijakan yang relevan sesuai dengan kebutuhan masyaSKt. "Walaupun tujuannya baik untuk transparansi tetap saja, aspek sosiologis dan psikologis warga juga perlu dipertimbangkan," pintanya menyudahi.(fah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar