Menurut Ujang Wardi, sampai saat ini DPRD Purwakarta belum menerima penjelasan apapun dari dinas terkait tentang sanksi tersebut.
Ujang meminta Pemkab tidak gegabah dalam membuat aturan. Menurutnya, harus dikaji dahulu aturan tersebut, dan dilihat dari aspek kewenangan serta regulasi aturan yang ada. �Jadi, pemerintah tidak bisa serta-merta langsung melakukan penutupan SMK tersebut tanpa alasan-alasan yang kuat dan sesuai aturan yang berlaku,� cetus dia.
Untuk itu, dalam waktu dekat DPRD akan mengajak pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat untuk duduk bersama guna membahas SK bupati tersebut.
Ia juga menambahkan, saat ini dewan sedang menggodok raperda tentang pencegahan dan penanganan tawuran antar pelajar. Dalam raperda ini, ada pembahasan mengenai sanksi bagi pelajar yang terlibat tawuran tersebut.
Terkait penilaian Tim pencari fakta yang diterjunkan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi Jawa Barat yang menyimpulkan SK Bupati cacat hukum, Ujang Wardi
tidak mau berkomentar.
Seperti diketahui, tim pencari fakta menilai, dalam aturan tersebut ada konsideran yang masih sumir. Terlebih, SK itu bertentangan dengan PP 17/2010 yang diubah jadi PP 66/2010 tentang Penyelenggaraan dan Pendidikan.
Setelah melakukan kajian di 6 SMK yang disanksi Bupati Dedi Mulyadi, BMPS menilai SK Bupati itu sumir, bahkan cacat hukum. Karena keputusan tersebut dinilai bertentangan dengan PP 66/2010 Perubahan PP 17/2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Anggota Tim BMPS Endang Imam menjelaskan, dalam PP No 66/2010 disebutkan, pemerintah mengatur soal penyelenggaraan pendidikan, termasuk menegaskan bahwa tanggungjawab sekolah terhadap siswa hanya pada saat siswa berada di sekolah atau pada saat jam sekolah. Ini berbeda dengan yang tercantum dalam konsideran SK Bupati. Pada SK Bupati disebutkan bahwa sekolah harus bertanggungjawab terhadap siswanya baik saat di lingkungan maupun di luar sekolah. Padahal, UU juga tidak mengatur soal tanggung jawab sekolah pada siswanya di luar lingkungan sekolah.
"Kalau mengacu pada PP, jika ada pelajar yang terlibat tawuran di luar sekolah dan di luar jam pelajaran, itu bukan tanggung jawab penuh sekolah. Melainkan sudah jadi tanggung jawab masing-masing pelajar, pemerintah dan aparat penegak hukum," ungkap Endang.
Dalam kasus maraknya tawuran antar pelajar di Purwakarta, kata Endang, tidak sepenuhnya kesalahan sekolah. Melainkan yang harus bertanggung jawab itu pemerintah dan aparat penegak hukum. Sebab sudah jadi kewenangan mereka. Dan kalau ada pelajar yang tawuran di luar jam sekolah, berarti ada yang tidak beres dengan negara ini. Pemerintah tidak bisa menjalankan sistem pendidikan dengan baik, aparat juga tidak bisa bekerja dengan maksimal.
Kendati begitu, pihaknya tidak berbicara pemerintah atau aparat yang salah. Namun dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Purwakarta ini ada yang keliru. Apalagi sanksinya keenam SMK swasta ini dilarang menerima siswa baru pada tahun ajaran 2014/2015 mendatang. "Bupati jangan melupakan sejarah. Sebelum negara ini terbentuk sekolah swasta sudah ada," ujarnya.
Sebelumnya dalam regulasi yang dikeluarkan Bupati Purwakarta itu, ada enam SMK swasta yang dilarang menerima PPDB. Keenam SMK swasta itu, masing-masing SMK YPK, SMK YPB Sukatani, SMK Teknologi Industri (Tekin), SMK Bina Taruna (Bintar), SMK Prabusakti 1 (YKS 1) dan SMK Prabusakti 2. (nos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar