Menurut informasi yang berhasil diperoleh RAKA di lapangan, selain di Kampung Cilalay, longsor juga terjadi di blok Balai Benih Ikan (BBI), merusak rumah warga dan menimbun talang irigasi di Kampung Parakan Badak, dan di kedusunan Sirnaruju. Meski tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, namun diperkirakan kerugian mencapai ratusan juta. "Kami langsung membuat laporan tertulis agar dapat langsung diperbaiki (pemerintah kabupaten)," ujar Sekretaris Desa Mekarbuana, Au Fahrudin.
Melihat longsor yang kembali terjadi di desanya, Kepala Desa Mekarbuana, Andi, meminta kepada masyarakat agar menjaga lingkungan terutama kawasan hutan. "Kami berharap Pemerintah Kabupaten Karawang agar lebih cepat mengatasi persoalan ini. Himbauan untuk masyarakat agar lebih menjaga lingkungan, hutan, bahkan termasuk Sungai Cigentis," tutur Andi.
Cecep (49) warga Kampung Parakan Badak, mengatakan, longsor yang terjadi kedua kalinya di awal tahun ini terjadi akibat maraknya penambangan batu dan pasir di sepanjang Sungai Cigentis. Hal itu berdampak pada derasnya arus sungai ketika terjadi peningkatan intensitas debit air di hulu. "Seharusnya pemerintah tegas melarang penambangan batu dan pasir di sungai ini. Sekarang dampaknya terasa," katanya.
Ma'mun (35), warga Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, menuturkan hingga saat ini pertambangan pasir dan kerikil (sirtu) di daerah aliran sungai (DAS) Cigentis masih marak berlangsung. Hal ini menyebabkan air sungai terbesar di Karawang selatan tersebut mengalami penyusutan saat musim kemarau, dan meluap saat musim hujan. "Dulu sebelum sungai tersebut belum dijadikan tempat galian C atau penambangan batu, merupakan salah satu sarana untuk mengirim bambu, karena kondisi airnya yang senantiasa terjaga. Dan hal ini membuktikan bahwa air yang terdapat di Sungai Cigentis memang stabil," tutur Ma'mun.
Ironisnya, pelaku galian C justru semakin membabi-buta melakukan aktivitasnya saat air Sungai Cigentis menyusut. Aktivitas mereka seolah tidak dihalangi, karena pasir begitu jelas terlihat saat air sungai menyusut. Melihat kondisi tersebut, Ma'mun mengaku wajar jika musim kemarau air sungai sama sekali hilang. Sebab, sebelum dijadikan galian di sungai itu banyak terdapat yang disebut leuwi (kubangan air). "Dulu jika kemarau, air untuk pertanian masih selalu ada. Dan sebenarnya harapan kami yaitu ketegasan pemerintah dalam menegakan aturan, sebab satu-satunya harapan hanyalah keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini," ujarnya. (ark)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar